Ada keanehan yang menyembul keluar dan kini menguasai pikiranku, yang membuat aku berjarak dengan diriku sendiri dan memunculkan satu tanya: “Mengapa kulakukan ini?”
Keanehan lainnya menyusul, yakni jawaban muncul dengan sendirinya tanpa proses berpikir: “Memang ini jalannya.” Itukah yang dinamakan firasat? Menahun sudah aku tahu, hari ini akan tiba. Tapi bagaimana bisa pernah kujelaskan?
—
Aku tidak tahu cinta punya berapa macam varian. Kau harus bertanya langsung pada hatiku, karena dialah yang satu hari menutup dan mengucap: “Cukup.” Dia yang berkata: “Aku tidak lagi jatuh, jalan ini sudah jadi jalan lurus. Teruskan maka aku mati, karena takdirku adalah jatuh. Bukan berjalan di setapak datar apalagi mendaki.”
Hati adalah air, aku lantas menyimpulkan. Baru menggulir dari tempat tempat tinggi ke tempat lebih rendah. Ada gravitasi yang secara ilmiah menggiringnya. Dan jika peristiwa jatuh hati diumpakan air terjun, maka bersamamu aku sudah merasakan terjun, jumpalitan, lompat indah. Berkali-kali. Namun kanal hidup membawa aliran itu ke sebuah tempat datar, dan hatiku berhenti mengalir. Siapa yang mengatur itu? Aku pun tak tahu. Barangkali kita berdua, tanpa kita sadari. Barangkali hidup itu sendiri, sehingga sia-sia menyalahkan siapa-siapa.
Aku ingin mengalir. Hatiku belum mau mati. Aliran ini harus kembali memecah dua agar kita sama-sama bergerak.
Kendati bersamamu senyaman berselimut pada saat hujan. Aku aman. Namun aku mengerontang kekeringan. Dan kini kutersadar, aku butuh hujan itu. Lebih dari apapun..
—
Inilah keindahan yang kumaksud. Kejujuran tanpa suara yang tak menyisakan ruang untuk dusta. Sakit ini tak terobati dan bukan untuk diobati. Dan itu juga keindahan yang kumaksud. Rasakan semua, demikian pinta sang hati. Amarah atau asmara, kasih atau pedih, segalanya indah jika memang tepat pada waktunya. Dan inilah hatiku, pada dini hari yang hening. Bening. Apa adanya.
—
Keanehan lainnya menyusul, yakni jawaban muncul dengan sendirinya tanpa proses berpikir: “Memang ini jalannya.” Itukah yang dinamakan firasat? Menahun sudah aku tahu, hari ini akan tiba. Tapi bagaimana bisa pernah kujelaskan?
—
Aku tidak tahu cinta punya berapa macam varian. Kau harus bertanya langsung pada hatiku, karena dialah yang satu hari menutup dan mengucap: “Cukup.” Dia yang berkata: “Aku tidak lagi jatuh, jalan ini sudah jadi jalan lurus. Teruskan maka aku mati, karena takdirku adalah jatuh. Bukan berjalan di setapak datar apalagi mendaki.”
Hati adalah air, aku lantas menyimpulkan. Baru menggulir dari tempat tempat tinggi ke tempat lebih rendah. Ada gravitasi yang secara ilmiah menggiringnya. Dan jika peristiwa jatuh hati diumpakan air terjun, maka bersamamu aku sudah merasakan terjun, jumpalitan, lompat indah. Berkali-kali. Namun kanal hidup membawa aliran itu ke sebuah tempat datar, dan hatiku berhenti mengalir. Siapa yang mengatur itu? Aku pun tak tahu. Barangkali kita berdua, tanpa kita sadari. Barangkali hidup itu sendiri, sehingga sia-sia menyalahkan siapa-siapa.
Aku ingin mengalir. Hatiku belum mau mati. Aliran ini harus kembali memecah dua agar kita sama-sama bergerak.
Kendati bersamamu senyaman berselimut pada saat hujan. Aku aman. Namun aku mengerontang kekeringan. Dan kini kutersadar, aku butuh hujan itu. Lebih dari apapun..
—
Inilah keindahan yang kumaksud. Kejujuran tanpa suara yang tak menyisakan ruang untuk dusta. Sakit ini tak terobati dan bukan untuk diobati. Dan itu juga keindahan yang kumaksud. Rasakan semua, demikian pinta sang hati. Amarah atau asmara, kasih atau pedih, segalanya indah jika memang tepat pada waktunya. Dan inilah hatiku, pada dini hari yang hening. Bening. Apa adanya.
—
“Cerita ini serupa namun tak sama. Dan terkait masa depan ataupun hal-hal yang belum terjadi, biarkanlah waktu yang menuliskannya.” (Belum memiliki halaman).
— Dee